Minggu, 11 Maret 2012

FILOSOFI SOAL PILIHAN GANDA

Pilihan Berganda

Semua orang menyukai soal pilihan berganda. Peserta ujian menyukainya karena soal jenis ini dianggap lebih mudah daripada soal isian atau essay. Tidak perlu lagi menyerahkan lembar jawaban yang kosong melompong akibat sama sekali tidak belajar. Pengajar menyukainya karena jauh lebih mudah memeriksa jawaban soal pilihan berganda. Bahkan prosedur pemeriksaan dapat diotomatisasi dengan menggunakan mesin OMR atau komputer. Pemeriksa tidak perlu lagi melakukan prosedur pemeriksaan lembar jawaban satu per satu secara manual yang sangat melelahkan. Pengelola institusi pendidikan menyukainya karena soal pilihan berganda tidak membutuhkan jumlah pemeriksa yang banyak yang tentunya akan membutuhkan dana ekstra.

Sebagian besar pelajar dan mahasiswa berusaha mencapai nilai dengan baik dengan cara belajar tentang topik yang diujikan. Tetapi saya perhatikan dari teman-teman saya bahwa hanya sebagian kecil yang dapat menggunakan intuisi atau analisis untuk memaksimalkan peluang mendapat nilai yang lebih tinggi lagi walaupun tidak 100% yakin dengan jawabannya.

Bagi saya, menjawab soal pilihan berganda adalah sebuah seni tersendiri, terutama jika tidak belajar sama sekali malam sebelumnya. Dan tentunya bukan hanya seni, tetapi juga kebutuhan karena sewaktu kuliah dulu tujuan saya adalah lulus dengan usaha seminimal mungkin. Selain itu otak saya lebih suka diajak berpikir daripada menghafal, akan sangat sulit bagi saya untuk bersaing dengan teman-teman yang setelah membaca satu kali saja masih akan tetap melekat di otak satu minggu kemudian. Sayangnya, sebagian besar ujian di Indonesia masih berupa ‘perlombaan menghafal’.

Tujuan peserta ujian pilihan berganda adalah memaksimalkan nilai dari pengetahuan yang kita miliki pada saat ujian, terlepas dari apakah pengetahuan tersebut cukup atau tidak untuk menjawab soal-soal dengan cara ‘biasa’.

Eliminasi Jawaban yang Pasti Salah

Ini adalah trik yang paling jelas. Jika tidak yakin dengan sebuah jawaban, cobalah untuk mengeliminasi jawaban-jawaban yang sudah pasti salah. Untuk beberapa jenis soal, bahkan cara ini adalah satu-satunya cara untuk dapat menemukan jawaban tanpa perlu menghabiskan banyak waktu. Kesalahan banyak teman pada ujian matematika adalah selalu menjawab soal secara analitis padahal jawaban-jawaban yang salah dapat dengan mudah dieliminasi untuk mendapatkan solusi dari soal tersebut.

Pembuat soal yang malas terkadang membuat soal dengan jawaban yang terlalu mudah untuk ditebak.

Pilih Jawaban yang Paling Panjang

Saran klasik sebelum menghadapi ujian terutama ujian ilmu-ilmu sosial adalah ‘pilih jawaban yang paling panjang dibandingkan jawaban lainnya’. Menurut pengalaman trik ini hanya berlaku untuk pembuat soal yang kurang berpengalaman yang terlalu sering membuat jawaban yang benar relatif jauh lebih panjang daripada jawaban-jawaban lainnya. Tetapi di lain pihak, soal-soal seperti ini juga beberapa kali muncul di ujian sekaliber UMPTN misalnya.

Untuk meminimalkan masalah ini, beberapa pembuat soal membuat soal jebakan. Soal tersebut biasanya tidak memiliki tingkat kesukaran yang tinggi dan memiliki satu jawaban yang jauh lebih panjang daripada jawaban lainnya, tetapi berbeda dengan biasanya, jawaban tersebut salah. Jika peserta ujian menemukan soal tersebut, maka ia akan menjadi ragu pada soal-soal berikutnya: apakah pembuat soal sedang mencoba menjebak saya lagi atau apakah kali ini ia ‘jujur’? Ini adalah sebuah teori permainan antara pembuat soal dan peserta ujian yang dapat digambarkan dalam matriks pembayaran dari sisi peserta ujian kira-kira sebagai berikut dengan asumsi peserta ujian tidak mengetahui jawabannya:

------------------------------Menjebak---------Tidak menjebak
Memilih jawaban panjang----------0------------------10
Tidak memilih jawaban panjang----2,5-----------------0

Yang menjadi masalah adalah bagaimana mengetahui pembuat soal menjebak atau tidak? Peserta ujian perlu menggunakan intuisinya berdasarkan situasi yang ada. Akan lebih berguna jika ia menyelesaikan seluruh soal yang mampu ia kerjakan terlebih dahulu. Fakta lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa soal-soal jebakan jumlahnya akan jauh lebih sedikit daripada soal-soal bukan jebakan. Yang jelas peserta ujian tetap diuntungkan karena bisa bereaksi sesuai dengan tindakan yang diambil pembuat soal, sedangkan pembuat soal tidak bisa mengubah soal berdasarkan tindakan peserta ujian.

Pembuat soal yang baik mencoba meminimalkan ‘tebakan berhadiah’ seperti ini dengan cara menyamaratakan seluruh panjang jawaban, sehingga jawaban yang benar tidak dapat ditentukan dari panjangnya jawaban.

Soal-soal dalam kategori ini biasanya adalah jenis soal-soal yang paling menyebalkan. Biasanya pembuat soal mengambil sebuah kalimat dari buku, kemudian memecahnya menjadi dua buah bagian, bagian pertama ditempatkan pada soal, sedangkan bagian kedua ditempatkan pada salah satu jawaban. Sedangkan jawaban sisanya dikarang sehingga seakan-akan itu adalah jawaban yang benar. Dalam kasus ini peserta ujian dapat menganalisis apakah pertanyaan dan jawaban terangkai menjadi sebuah kalimat yang berkesinambungan. Carilah kesalahan-kesalahan seperti kesalahan ejaan, kesalahan gramatikal, penggunaan ejaan lama, penggunaan istilah yang tidak lazim dan sebagainya. Jika ada kesalahan, maka ada kemungkinan jawaban tersebut adalah jawaban yang salah. Soal dalam Bahasa Inggris akan lebih mudah dipecahkan karena aturan gramatikal yang lebih ketat daripada Bahasa Indonesia, sebagai contoh jika pertanyaan dibuat dalam past tense, maka jawaban juga seharusnya dalam past tense. Walaupun demikian, soal-soal semacam ini sangat jarang disajikan dalam Bahasa Inggris.

Peluang Menebak Jawaban

Yang sering tidak disadari oleh para penulis soal dan juga peserta ujian adalah peluang. Jika sebuah ujian terdiri dari 100 buah soal pilihan berganda dengan lima pilihan jawaban tanpa sistem minus, dan jika peserta datang ke tempat ujian tanpa mengerti sedikitpun materi yang diujikan, maka teori peluang mengatakan bahwa dia akan menjawab dengan benar sekitar 20 buah soal, atau 20% dari nilai keseluruhan. Sedangkan kondisi yang dapat menyebabkan hasil ujian bernilai 0% adalah jika peserta mengetahui dengan baik topik yang diujikan tetapi dengan sengaja memilih jawaban yang salah untuk seluruh soal.

Artinya, saat datang ke ruang ujian, peserta mendapat hadiah nilai kira-kira sebesar 20%. Mungkin ini salah satu hal yang menyebabkan soal pilihan berganda dianggap lebih mudah daripada soal jenis lainnya. Untuk menghilangkan faktor ‘bonus’ tersebut, nilai akhir yang didapat peserta perlu direvisi dengan menggeser titik 0% ke 20% hasil ujian. Rumusnya kira-kira adalah sebagai berikut:

nilairevisi = (nilai - 20) * 100 / 80

Dengan nilairevisi adalah nilai akhir yang telah direvisi, dan nilai adalah nilai hasil ujian. Semua dalam skala 0-100. Jika nilairevisi bernilai negatif, maka ubah menjadi 0 supaya tidak mempengaruhi hasil ujian-ujian sebelumnya.

Mitos sistem minus

Walaupun demikian, sistem revisi tersebut saya lihat tidak populer. Yang jauh lebih populer adalah sistem minus. Pada sistem minus dengan lima pilihan jawaban, jawaban yang benar bernilai 4 dan jawaban salah bernilai -1, dan jika peserta memilih untuk menjawab, maka nilainya adalah 0. Sedangkan pada sistem minus dengan empat pilihan jawaban, jawaban yang benar bernilai 3 dan yang salah bernilai -1.

Jika seorang peserta mengikuti ujian pilihan berganda sistem minus yang terdiri dari 100 soal dengan lima pilihan jawaban, dan jika peserta tersebut sama sekali tidak mengerti topik yang diujikan tetapi memilih untuk menjawab seluruh soal, maka teori peluang akan mengatakan bahwa dia akan menjawab benar sebanyak 20 soal dan menjawab salah sebanyak 80 soal. Nilai akhir yang ia dapatkan adalah 20*4 - 80*1 = 0. Dan jika peserta memilih untuk mengosongkan lembar jawaban, maka nilai yang dia dapat juga 0.

Mitos yang sering beredar adalah bahwa soal pilihan berganda sistem minus itu menyeramkan karena peserta tidak dapat menebak-nebak jawaban untuk soal yang tidak dimengerti. Padahal, sesuai perhitungan di atas, hasil yang didapat akan kurang lebih sama baik peserta mengosongkan jawaban untuk pertanyaan yang tidak ia mengerti, dan jika peserta memilih untuk menebak jawaban yang benar. Lalu pilihan mana yang lebih baik? Jika saya sama sekali tidak mengerti, dalam kasus ini saya lebih suka mengosongkan jawaban. Dengan menebak, saya akan mendapat nilai tambahan di sekitar 0, ini bisa menguntungan, tapi bisa juga merugikan dan ini murni perjudian. Selain itu, waktu yang digunakan untuk menebak akan lebih baik dialokasikan untuk melakukan metoda tebakan lain yang akan jauh lebih produktif.

Satu hal yang bisa membuat saya memilih untuk menebak adalah jika prediksi nilai dari soal-soal yang lain adalah sedikit di bawah batas lulus. Sebagai contoh jika batas lulus adalah 60%, sedangkan prediksi nilai saya adalah 58%. Dalam kasus ini mengosongkan jawaban sudah pasti mengharuskan saya ikut ujian lagi tahun depan. Tetapi jika menebak, maka masih ada kemungkinan untuk lulus jika saya beruntung.

Tetapi bagaimana jika peserta bisa mengeliminasi satu jawaban yang salah? Jika ada banyak soal yang tidak diketahui jawabannya dengan pasti, tetapi peserta dapat mengeliminasi satu saja jawaban yang salah, maka kondisi akan berbalik. Sebagai contoh seorang peserta tidak mampu menjawab 40 buah pertanyaan, tetapi dia dapat mengeliminasi sebuah jawaban yang salah dari masing-masing soal tersebut. Maka teori peluang mengatakan bahwa dia akan dapat menjawab benar sebanyak sekitar 10 pertanyaan dan menjawab salah sekitar 30 pertanyaan. Nilai ekstra yang dia dapat dari menjawab soal-soal tersebut adalah sekitar 10*4 - 30 = 10. Lumayan! Nilai 10 setara dengan menjawab benar 2,5 soal.

Dan bagaimana jika peserta dapat mengeliminasi tiga jawaban salah sampai didapatkan dua buah jawaban yang salah satu di antaranya adalah jawaban yang benar? Jika hal tersebut terjadi pada 40 buah soal, maka peserta akan menjawab sekitar 20 jawaban benar dan 20 jawaban salah. Nilai tambahannya adalah sekitar 20*4 - 20*1 = 60. Artinya nilai tersebut setara dengan menjawab benar 15 buah pertanyaan! Saya tidak habis pikir pada teman-teman yang tidak berani menjawab padahal sudah mampu mengeliminasi tiga buah jawaban yang salah.

Saya pribadi akan menebak jika mampu untuk mengeliminasi paling tidak satu jawaban yang salah. Walaupun demikian resikonya terlalu tinggi jika misalnya nilai yang saya prediksi saat ini sedikit berada di atas batas lulus. Dalam kasus ini, menebak kemungkinan besar tidak akan dapat mengubah C menjadi B, tetapi kemungkinan mengubah C menjadi D terbuka lebar.

Sifat Kronologis

Sebagian pembuat soal menyusun pertanyaan-pertanyaan secara kronologi. Soal-soal awal membahas awal-awal topik bahasan, soal-soal terakhir membahas akhir dari topik bahasan. Menurut saya ini adalah ide yang buruk. Sulit saya menceritakannya karena ini berhubungan dengan intuisi. Terkadang, pada soal yang dibuat secara berurutan seperti ini saya seperti dapat membaca sebuah pola. Biasanya pertanyaan di awal-awal berkualitas baik, tetapi semakin mendekati akhir kualitas akan menurun secara perlahan-lahan. Frekuensi soal-soal yang ‘berkelas’ akan semakin menurun di lembar akhir.

Cara yang baik untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mengacak urutan soal. Setelah di acak, soal-soal berkualitas rendah akan tersebar dari awal sampai akhir. Hal ini akan menyulitkan peserta untuk mengira-ngira soal mana yang dibuat ketika pembuat soal sudah lelah.

Ujian yang dilakukan dengan menggunakan komputer bisa jadi ditampilkan dalam kondisi acak. Pengacakan yang berbeda dari komputer peserta yang berbeda juga akan meminimalkan hal-hal seperti pencontekan atau kerja sama antar peserta ujian.

Penyusunan oleh Tim atau Perorangan

Soal-soal adalah manifestasi dari personaliti sang pembuat soal. Terkadang jika kita sudah terlalu banyak menjawab soal-soal yang dibuat oleh pembuat soal yang sama, maka kita bisa melihat adanya pola. Pola yang bagaimana? Agak sulit untuk menjelaskan, tetapi kita bisa melihat kelemahan dan kelebihan seorang pembuat soal dalam menyusun soal. Pola yang didapatkan dari soal-soal yang lain bisa jadi menjadi petunjuk untuk menjawab soal-soal lainnya.

Untuk mengatasinya, soal-soal untuk ujian yang penting sudah biasa disusun oleh beberapa orang dalam sebuah tim, dan bukan oleh perorangan.

Informasi dari Soal Lain

Tidak seperti soal jenis lain, soal pilihan berganda membutuhkan banyak kata-kata. Ada satu soal dan lima buah jawaban untuk setiap soal yang perlu ditulis di lembar soal. Selain itu soal pilihan berganda bersifat sangat spesifik dan tidak luas, akibatnya diperlukan cukup banyak soal untuk dapat mencakup seluruh topik bahasan. Jumlah soal yang banyak juga dibutuhkan untuk meminimalkan keberuntungan. Akan lebih sulit menemukan peserta ujian yang beruntung ketika mengerjakan 100 soal ketimbang 10 soal.

Banyaknya jumlah teks pada lembar soal memberikan kesempatan bagi peserta ujian untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan untuk menjawab soal lain atau paling tidak untuk mengeliminasi sebuah jawaban yang salah.

Pembuat soal yang pintar tidak akan membuat soal yang terkait dengan soal yang lain, atau soal yang jawaban-jawabannya saling mengeliminasi. Walaupun demikian, jika topik yang dibahas cukup sempit, maka pembuat soal akan kesulitan melakukan hal tersebut dan hampir tidak mungkin soal-soal yang diberikan bersifat ’saling lepas’.

Jika sifat ’saling lepas’ sulit untuk dihindari, masalah ini masih dapat dieliminasi dengan mencegah peserta untuk merevisi jawaban yang telah diberikan. Solusi ini mungkin hanya dapat diterapkan dengan bantuan komputer sebagai alat masukan.

Keacakan Jawaban

Tidak sering tetapi tidak jarang pula letak jawaban yang benar membentuk sebuah pola. Hal ini memang sudah menjadi sifat manusia yang sulit untuk menghasilkan sesuatu yang acak secara konsisten. Jika urutan jawaban yang benar dari soal nomor 1 sampai 5 adalah C, B, A, E, D, lalu apakah jawaban soal berikutnya adalah C? Ini tidak jauh berbeda dengan tebak-tebakan pada permainan semut-gajah-orang atau yang lebih dikenal di luar Indonesia sebagai rock-paper-scissors.

Untuk mengatasinya, pembuat soal mungkin perlu untuk menggunakan sumber acak selain otaknya, dengan menggunakan dadu atau menggunakan sumber acak dari komputer.

Mungkin berguna bagi yang mau ujian, UAN, SPMB, dan lain sebagainya.
Taken from:
hxxp://priyadi.net/archives/2006/04/13/filosofi-soal-pilihan-berganda/
All credit goes to him!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar